Qurban

Berkurban Di Hari Raya
Oleh Moeflih

Selain merupakan momentum bagi penyelenggaraan Ibadah Haji, pada hari raya Iedul Adha, bagi sebagian kita yang sanggup disunahkan untuk melaksanakan ibadah Qurban. Secara ritual qurban dilakukan dengan proses adz-dzabhu (penyembelihan) hewan ternak. Syar’i nya ibadah qurban hanya sebatas penyembelihan sampai menetesnya darah hewan qurban ke tanah.

Namun makna yang terkandung di dalamnya ialah bagaimana kita mampu menyembelih keangkuhan dan keegoan yang ada di dalam diri kita, yang akan menghalangi untuk berbuat baik kepada sesama makhluk.

Semangat yang terkandung dalam ibadah qurban ialah bagaimana kita mampu membebaskan diri dari mempertuhankan harta. Dengan demikian diharapkan kita dapat lebih mendekatkan kepada Allah dengan mengurbankan segala potensi yang kita miliki untuk meraih cinta Ilahi.

Persoalannya apakah qurban yang secara rutin sering kita laksanakan mampu mencerminkan makna dan semangat yang terkandung didalamnya, atau hanya menjadi ritualitas semata. Kita melaksanakannya dengan ringan-ringan saja sebagai sebuah kelaziman tanpa nilai pengorbanan didalamnya. Barangkali saja kisah sederhana dari Koran REPUBLIKA ini bisa menginspirasi.

"SELAMAT HARI RAYA IDUL ADHA 1428 H"

Kisah "YU TIMAH"
(dicuplik dari RESONANSI - Republika Desember 2006/Ahmad Tohari)

Ini kisah tentang Yu Timah. Siapakah dia? Yu Timah adalah tetangga kami. Dia salah seorang penerima program Subsidi Langsung Tunai (SLT) yang kini sudah berakhir. Empat kali menerima SLT selama satu tahun jumlah uang yang diterima Yu Timah dari pemerintah sebesar Rp 1,2 juta. Yu Timah adalah penerima SLT yang sebenarnya. Maka rumahnya berlantai tanah, berdinding anyaman bambu, tak punya sumur sendiri. Bahkan status tanah yang di tempati gubuk Yu Timah adalah bukan milik sendiri.

Usia Yu Timah sekitar lima puluhan, berbadan kurus dan tidak menikah.
Barangkali karena kondisi tubuhnya yang kurus, sangat miskin, ditambah yatim sejak kecil, maka Yu Timah tidak menarik lelaki manapun. Jadilah Yu Timah perawan tua hingga kini. Dia sebatang kara. Dulu setelah remaja Yu Timah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta. Namun, seiring usianya yang terus meningkat, tenaga Yu Timah tidak laku di pasaran pembantu rumah tangga. Dia kembali ke kampung kami. Para tetangga bergotong royong membuatkan gubuk buat Yu Timah bersama emaknya yang sudah sangat renta. Gubuk itu didirikan di atas tanah tetangga yang bersedia menampung anak dan emak yang sangat miskin itu.

Meski hidupnya sangat miskin, Yu Timah ingin mandiri. Maka ia berjualan nasi bungkus. Pembeli tetapnya adalah para santri yang sedang mondok di pesantren kampung kami. Tentu hasilnya tak seberapa. Tapi Yu Timah bertahan. Dan nyatanya dia bisa hidup bertahun-tahun bersama emaknya. Setelah emaknya meninggal Yu Timah mengasuh seorang kemenakan. Dia biayai anak itu hingga tamat SD. Tapi ini zaman apa. Anak itu harus cari makan. Maka dia tersedot arus perdagangan pembantu rumah tangga dan lagi-lagi terdampar di Jakarta.
Sudah empat tahun terakhir ini Yu Timah kembali hidup sebatang kara dan mencukupi kebutuhan hidupnya dengan berjualan nasi bungkus.

Untung di kampung kami ada pesantren kecil. Para santrinya adalah anak-anak petani yang biasa makan nasi seperti yang dijual Yu Timah. Kemarin Yu Timah datang ke rumah saya. Saya sudah mengira pasti dia mau bicara soal tabungan. Inilah hebatnya. Semiskin itu Yu Timah masih bisa menabung di bank perkreditan rakyat syariah di mana saya ikut jadi pengurus. Tapi Yu Timah tidak pernah mau datang ke kantor. Katanya, malu sebab dia orangmiskin dan buta huruf. Dia menabung Rp 5.000 atau Rp 10 ribu setiap bulan. Namun setelah menjadi penerima SLT Yu Timah bisa setor tabungan hingga Rp 250 ribu. Dan sejak itu saya melihat Yu Timah memakai cincin emas. Yah, emas. Untuk orang seperti Yu Timah, setitik emas di jari adalah persoalan mengangkat harga diri. Saldo terakhir Yu Timah adalah Rp 650 ribu.

Yu Timah biasa duduk menjauh bila berhadapan dengan saya. Malah maunya bersimpuh di lantai, namun selalu saya cegah.

''Pak, saya mau mengambil tabungan,'' kata Yu Timah dengan suaranya yang kecil.

''O, tentu bisa. Tapi ini hari Sabtu dan sudah sore. Bank kita sudah tutup.
Bagaimana bila Senin?''

''Senin juga tidak apa-apa. Saya tidak tergesa.''
''Mau ambil berapa?'' tanya saya.
''Enam ratus ribu, Pak.''
''Kok banyak sekali. Untuk apa, Yu?''
Yu Timah tidak segera menjawab. Menunduk, sambil tersenyum malu-malu.

''Saya mau beli kambing kurban, Pak. Kalau enam ratus ribu saya tambahi dengan uang saya yang di tangan, cukup untuk beli satu kambing.''

Saya tahu Yu Timah amat menunggu tanggapan saya. Bahkan dia mengulangi kata katanya karena saya masih diam. Karena lama tidak memberikan tanggapan, mungkin Yu Timah mengira saya tidak akan memberikan uang tabungannya.
Padahal saya lama terdiam karena sangat terkesan oleh keinginan Yu Timah membeli kambing kurban.

''Iya, Yu. Senin besok uang Yu Timah akan diberikan sebesar enam ratus ribu.
Tapi Yu, sebenarnya kamu tidak wajib berkurban. Yu Timah bahkan wajib menerima kurban dari saudara-saudara kita yang lebih berada. Jadi, apakah niat Yu Timah benar-benar sudah bulat hendak membeli kambing kurban?''
''Iya Pak. Saya sudah bulat. Saya benar-benar ingin berkurban. Selama Ini memang saya hanya jadi penerima. Namun sekarang saya ingin jadi pemberi daging kurban.''
''Baik, Yu. Besok uang kamu akan saya ambilkan di bank kita.''
Wajah Yu Timah benderang. Senyumnya ceria. Matanya berbinar. Lalu minta diri, dan dengan langkah-langkah panjang Yu Timah pulang.

Setelah Yu Timah pergi, saya termangu sendiri. Kapankah Yu Timah mendengar, mengerti, menghayati, lalu menginternalisasi ajaran kurban yang ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim? Mengapa orang yang sangat awam itu bisa punya keikhlasan demikian tinggi sehingga rela mengurbankan hampir seluruh hartanya? Pertanyaan ini muncul karena umumnya ibadah haji yang biayanya mahal itu tidak mengubah watak orangnya. Mungkin saya juga begitu. Ah, Yu Timah, saya jadi malu. Kamu yang belum naik haji, atau tidak akan pernah naik haji, namun kamu sudah jadi orang yang suka berkurban. Kamu sangat miskin, tapi uangmu tidak kaubelikan makanan, televisi, atau pakaian yang bagus. Uangmu malah kamu belikan kambing kurban. Ya, Yu Timah. Meski saya dilarang dokter makan daging kambing, tapi kali ini akan saya langgar. Saya ingin menikmati daging kambingmu yang sepertinya sudah berbau surga. Mudah-mudahan kamu mabrur sebelum kamu naik haji.

Lebih baik Memberi Dari pada Menerima.
Semoga Kita dapat mengambil Hikmahnya. Amien.


Wassalam

"MoeFth"
Read more!

0 komentar  

LBT & LBTD

Berkenaan dengan diadakannya Leadership Basic Training (LBT) dan Latihan Brigade Tingkat Dasar (LBTD) Pelajar Isalam Indonesia (PII) Jawa Barat. Garut, 02-09 Januari 2008. Memberitahukan kepada setiap Pengurus Daerah (PD) untuk memperhatikan persyaratan LBT dan LBTD sebagai berikut.
Oleh Admin

Persyaratan Leadership Basic Training (LBT)
Pelajar Islam Indonesia (PII) Jawa Barat
Garut, 02-09Januari 2008


A. PERSYSRATAN UMUM

1. Pelajar Putra dan Putri dilingkungan Jawa Barat minimal kelas VIII SMP/MTs.
2. Pernah mengikuti Pra Basic atau kegiatan-kegiatan PII.
3. Melampirkan sertifikat Pra Basic atau surat keterangan dari Pengurus Daerah yang menerangkan bahwa yang bersangkutan pernah mengikuti kegiatan PII.
4. Bersedia untuk melaksanakan proses pentrainingan dari awal sampai akhir (dibuktikan secara lisan dan tulisan).
5. Berkomitmen untuk melakukan proses tindak lanjut pentrainingan di sekolah, lokal (daerah) dan regional (Jawa Barat).
6. Membawa surat Mandat dari Pengurus Daerah yang mengutusnya.
7. Membawa Fotokopi identitas diri (kartu OSIS/KTP/SIM) sebanyak 1 lembar dan Melampirkan photo berwarna terbaru ukuran 3X4 sebanyak 2 buah.
8. Membawa surat izin dari orang tua/wali.
9. Membayar ketentuan administrasi yang telah ditentukan oleh panitia.
10. Membawa perlengkapan sebagai berikut :

a. Perlengkapan sholat termasuk mushaf Al-Quran
b. Perlengkapan alat tulis.
c. Pakaian ganti selama seminggu.
d. Peralatan mandi.
e. Obat pribadi.

B. PERSYSRATAN KHUSUS
1. Membaca dan membawa buku, jurnal, artikel, koran dan majalah tentang : Keislaman, Pendidikan dan kebudayaan, Teknologi Informasi, Kepemimpinan, Keummatan, Perbankkan, Lingkungan dan Kesehatan, ke-PII-an, Kamus (Arab, Inggris, Indonesia, dan ilmiah kontemporer).
2. Membuat tulisan tentang “Peranan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) bagi Organisasi” dengan ketentuan : ditik pada ketas A4 set up (top 2, bottom 2, left 3, right 2) hurup Arial Narrow spasi 1,5 atau ditulis rapi pada kertas folio minimal 2 lembar maksimal 5 lembar.
3. Membuat makalah dengan memilih salah satu tema dibawah ini :
a. Semangat Tahun Baru Hijriyah 1429 H.
b. Implikasi Film Religi Terhadap Pelajar.
c. Pengaruh Ideologi Barat Terhadap Islam.
d. Sikap PII Terhadap Pemilih Pemula (khususnya menghadapi Pilgub Jabar April 2008).
e. PII sebagai Rumah Pelajar.
dengan ketentuan : ditik pada ketas A4 set up (top 4, bottom 3, left 4, right 3) hurup Arial Narrow spasi 1,5 atau ditulis rapi pada kertas folio minimal 10 lembar maksimal 20 lembar.
4. Membuat kliping seputar Dunia Pelajar atau Pendidikan beserta analisisnya minimal 10 lembar dan maksimal 20 lembar (disampul).
5. Menginfaqkan buku tentang Pendidikan atau Teknologi Informasi masing-masing peserta 1 buah. (untuk Perpustakaan PW PII Jabar).

Bandung, Desember 2007
TTD


ADI FITRIYADI, A.Ma.
Koordinator Tim Instruktur

Catatan :
Persyaratan dikirim paling lambat 31 Desember 2007, dengan dialamatkan kepada Tim Instruktur LBT PW PII Jawa Barat : Jalan Ir H. Juanda No 285 Mesjid Al-Ihsan Darul Hikam Lt 2 Kel. Dago Kec. Coblong Bandung 40135 atau via E-mail : kang_adi9@yahoo.co.id atau e-mail : pii-jbr@yahoo.com Contact Person : 085659017987 dan 081809501759.


Persyaratan Latihan Brigade Tingkat Dasar (LBTD)
Pelajar Islam Indonesia (PII) Jawa Barat
Garut, 02-09Januari 2008

1. Lulus LBT
2. Mambawa Mandat dari korda/daerah
3. Siap mengikuti sampai akhir
4. Membawa pakaian lapangan
5. Celana panjang hitam
6. Baju kaos hitam panjang
7. Sepatu /topi rimba kaos kaki 4 pasang
8. Jas hujan ,ponco,rengkut,jaket
9. Membawa beras 1 liter/alat makam pribadi
10. Membawa mie 5 bungkus/ makanan ringan
11. kacang hijau ¼ kg/susu
12. Gula merah ¼ kg
13. Lilin 1 bungkus /korek api 1 bungkus
14. Ikan Asin 1 bungkus
15. senter
16. Golok/pisau
17. Kompas
18. Membawa tenda dari tiap utusan daerah
19. Al-Qur'an terjemah
20. Alat sholat
21. Obat pribadi dan keterangan sehat dari dokter
22. Alat tulis
23. Membuat analisa perkembangan daerah masing-masing
24. Membawa buku tentang pendidikan,keislaman
25. Membuat karya tulis minimal lima halamam pilih salah satu tema
berikut:
• Brigade sebagai ujung tombak PII
• PII sebagai organisasi alternatif
• Islam bukan agama teroris
• Revolusi nalar sebagai alternatif pendidikan indonesia
• Brigade pii di era nalar dan fikir bebas( format dan arah gerak)
• Brigade pii ke masa kini dan masa depan (Eksitensi)



Catatan: untuk tiap korda/daerah bagi yang akan mengirimkan
Perserta LBTD harap konfirmasi berapa jumlah peserta
Paling lambat satu hari sebelun hari h kepada panitia
Read more!

0 komentar  

Tukaran

Pertukaran Pemimpin Muslim Muda Indonesia-Australia 2008
Oleh Admin

Australia-Indonesia Institute menyelenggarakan program spesial, Pertukaran Pemimpin Muslim Muda antara Indonesia dan Australia. Pemimpin muslim muda dari Indonesia akan mengunjungi Australia selama 2 minggu dan bertemu baik Muslim maupun non-Muslim untuk bertukar pikiran dan berbagi pengalaman.

Australia-Indonesia Institute mendukung pertukaran antara pemimpin untuk meningkatkan pemahaman terutama mengenai peran dari agama pada kedua negara tersebut. Program ini ditujukan untuk meningkatkan pemahaman terhadap Islam di kedua negara dan untuk meningkatkan kesadaran mengenai keanekaragaman budaya di Australia maupun Indonesia.

Syarat-syarat pendaftaran:

1. Pria dan Wanita berusia di bawah 40 tahun.
2. Lancar berbicara bahasa Inggris dengan menunjukkan bukti nilai TOEFL International/Institusional, minimal 450.
3. Melampirkan surat pernyataan singkat (tidak melebihi 2 halaman, dapat menggunakan Bahasa Inggris ataupun Indonesia) berisi:
* peran dari pelamar dalam organisasi dan alasan mengapa tertarik pada program ini,
* nama organisasi atau orang yang ingin ditemui di Australia.
* mencantumkan tanggal terakhir perjalanan ke Australia, jika ada
* apa yang dapat diberikan pelamar pada program tersebut selama dan sesudah kunjungan,
* mencantumkan tanggal keberangkatan ke Australia, jika terpilih.
* bagaimana pelamar akan membagi pengalamannya selama dan sesudah program.
4. Curriculum Vitae (Penting mencantumkan alamat, fax atau nomor telephone yang dapat dihubungi)
5. Pasphoto 3 x 4 cm sebanyak 2 buah
6. Foto copy Akte Kelahiran sebanyak 1 lembar
7. Menyertakan satu surat rekomendasi (diutamakan dalam Bahasa Inggris) dari organisasi yang menjelaskan kedudukan pelamar dalam organisasi tersebut.
8. Melampirkan dua buah surat rekomendasi (diutamakan dalam Bahasa Inggris) dari 2 orang yang menyatakan mengapa pelamar adalah kandidat yang tepat untuk mengikuti program ini.



Lamaran dapat dikirim ke:

Universitas Paramadina
Jl. Gatot Subroto Kav. 96-97
Mampang,

Jakarta Selatan 12700



Cantumkan di kiri atas amplop:

PERTUKARAN PEMIMPIN MUSLIM MUDA

INDONESIA-AUSTRALIA


Informasi lebih lanjut hubungi:

Universitas Paramadina 021-7918 11 88 atau phanggarini@yahoo.com.au
Read more!

0 komentar  

Kebenaran

Perjalanan Mencari Kebenaran
Oleh Wanddi Irfandi

“anda tidak akan menemukan agama di gereja (atau rumah ibadat lainnya) dan sekalipun anda menemukannya, yang anda temui disana biasanya merupakan agama keturunan atau merupakan hal yang sekunder” (religion: a secular theory)

Aku dilahirkan dalam sebuah keluarga yang taat pada pada tuhan. Berbagai ritual keagamaan yang, katanya, wajib dan atau sunnah dikerjakan. Ayahku adalah salah seorang pendiri sebuah pesantren yang cukup besar di daerah. Selain itu juga ia menjadi bendahara sekaligus “Pengawal pribadi” Sedangkan Ibuku menjadi bendahara Istri di pesantren tersebut. Anak-anaknya yang berjumlah 4 orang semuanya di sekolahkan di Pesantren tersebut. Tak pelak predikat anak sholeh pun melekat padaku.

Lingkungan masyarakat yang sangat patuh terhadap norma-norma agama semakin mengukuhkan predikat soleh tersebut. Sehingga segala tingkah laku, ucapan, dan tindakan yang kulakukan harus sesuai dengan norma-norma agama bahkan harus sesuai dengan yang diajarkan oleh guru (ustadz) di pesantren tersebut, tak peduli aku faham atau tidak.

Namun predikat sholeh tersebut tak membuatku bangga atau menjadi lebih alim (sholeh). Justru menjadi sebaliknya, kebingungan akan apa yang ku alami semakin menjadi, pertanyaan-pertanyaan yang katanya nyeleneh menjadi akibat yang tak terelakan dari kebingungan tersebut. Rasa terisolir justru yang terus menerus menyengat. Terbukti aku hanya diterima oleh kawan se-pesantren di antara kawan sebaya yang ada. Entah aku yang kurang gaul atau memang mereka terlalu sungkan terhadapku.

Ayahku yang menjadi pendiri sebuah pesantren, ternyata mempunyai latar belakang yang sama sekali jauh dari keagamaan. Ia menemukan pencerahan akan keagamaan justru setelah menjadi “pengawal pribadi” pimpinan pesantren. Itu pun dalam baca tulis al-Qur’an masih belum benar-benar lancar.

Sehingga yang dilakukan ayahku hanyalah sebatas mengurus keuangan pesantren dan itu sudah berlangsung + 5 tahun. Ayahku memang menguasai tentang akuntansi dan administrasi keuangan, ma’lum ia memang lulusan perguruan tinggi jurusan ekonomi dan akuntansi.

Berbeda dengan ibuku yang memang sebelumnya “katanya” sering ikut berbagai pengajian dan pendidikan keislaman walaupun ortodoks. Sehingga dalam hal pemahaman keagamaan cenderung lebih faham dari pada ayahku. Pun begitu dengan baca tulis al-Qur’an ia lebih lancar bahkan jauh lebih lancar daripada aku sendiri. Makanya ia senantiasa mengikuti pengajian dan senantiasa menjadi penda’i bagi kaum ibu-ibu.

Saat ini jadualnya dipenuhi oleh menghadiri pengajian di berbagai daerah, entah ia menjadi pembicara atau pun hanya sebatas hadir. Dalam satu bulan, biasanya ibuku menghadiri pengajian sampai dengan 3 kali di luar daerah dan setiap minggu mengisi pengajian di daerahnya di berbagai pondok pesantren atau mesjid.

Oleh karena itu anak-anaknya pun disekolahkan di pesantren dengan harapan mampu memahami dan pada akhirnya mampu mengamalkannya. Namun apa lajur keinginan yang diharapkan tidak sesuai dengan apa yang terjadi. Bahkan yang lebih parah dari 4 anak yang dimasukkan ke pesantren barangkali hanya satu yang “dianggap” berhasil lulus di pesantren itu. Sedangkan yang lainnya pindah ke sekolah umum dan tidak lagi melanjutkan pencarian ilmu keislaman.

Anak yang pertama pindah dari pesantren ketika memasuki kelas 2 dengan alasan ingin ikut jurusan IPA. Aku sendiri pindah ke sekolah umum waktu kelas 2 dan masuk jurusan Bahasa. Adikku yang lebih bungsu lebih parah lagi. Ia memutuskan untuk berhenti sekolah, karena baginya sekolah hanyalah tempat manusia menjadi robot-robot industri atau menjadi kuli di sebuah perusahaan. Hanya adikku yang ke-tiga sajalah yang lulus dari pesantren tersebut.

Ketika di pesantren aku justru mencari-cari kebenaran-kebenaran ritual keagamaan (baca: Ibadah; red). Seperti bagaimana tata cara sholat yang benar beserta landasan hukum yang berlaku. Kemudian bagaimana perilaku hidup dengan lain agama, atau kenapa Islam yang ada terbagi berbagai macam aliran dan ke semuanya mengklaim paling benar.

Namun jawaban yang ku dapatkan hanyalah sebuah klaim kebenaran aliran dirinya dan ejekan bahkan caci maki terhadap aliran lain, terlebih bergaul dengan agama lain ustad tersebut, tidak disebutkan demi nama baik, menyarankan utuk tidak bergaul dengan orang yang berbeda agama dengan alasan masih banyak orang seagama yang bisa dijadikan teman.

Keyakinanku terhadap tuhan, kebenaran terhadap ibadah ritual agama yang kulakukan mulai memudar. Hal tersebut dikarenakan persoalan yang kutanyakan selalu mendapat jawaban yang singkat serta tidak memuaskan bahkan cenderung mengejek. Ditambah lagi dengan kawan-kawanku yang selalu sinis jika aku bertanya karena dianggap memperlama jam pelajaran.

Karena ingin bisa bergaul secara wajar dengan masyarakat terutama kawan sebaya, aku memutuskan untuk pindah sekolah walau itu harus mendapat tantangan yang sangat keras dari orang tua.

Setelah pindah sekolah ternyata aku mendapatkan apa yang kuinginkan. Kawan sebayaku secara perlahan mulai mendekatiku secara wajar. Namun pertanyaan-pertanyaan seputar keagamaan masih terus menggelayut, bahkan lebih parah. Hal ini dikarenakan guru-guru agama memandangku lebih faham tentang keagamaan dari pada kawan yang lain.

Ini semakin memperberat beban psikologi yang ku tanggung. Walau aku telah mendapatkan keinginan untuk bisa bergaul dengan bebas. Namun rasa dahaga akan pencarian spiritual dan pencarian suatu kebenaran semakin menggebu. Aku memutuskan untuk mencari pengalaman dengan mengikuti organisasi keislaman yang ekstra di luar sekolah. Selain itu buku-buku keislaman serta filsafat pun coba ku baca dengan harapan bisa memahami ilmu-ilmu agama. Sedikit pencerahan mulai muncul dari benakku akan kebenaran agama. Hingga aku memutuskan untuk masuk perguruan tinggi Islam yang konsen di bidang hukum-hukum Islam

Namun kekecewaan melanda kembali, ketika aku mulai masuk ke perguruan tinggi. Harapan bahwa mahasiswa adalah seorang yang selalu mengkaji dengan radikal seolah menjadi kebohongan belaka. Karena yang kutemui, kebanyakan, hanyalah orang yang butuh nilai akademik yang bagus (dengan cara apapun). Sehingga ruang untuk berdiskusi sesama teman kuliah pasca kuliah pun menjadi jarang atau tidak sama sekali. Selain itu bayangan awal bahwa Perguruan Tinggi Islam diisi oleh laki-laki sholeh serta wanita-wanita yang sholehah runtuh seketika, ketika suatu siang di hari rabu aku menemukan kumpulan kondom bekas di sebuah toilet kampus. Kejadian-kejadian tersebut membuatku kembali mencari pelarian diluar dalam bentuk organisasi ekstra kampus.

Selama mengikuti pelatihan dasar sampai dengan menyelesaikan pelatihan advance di organisasi ekstra tersebut, aku mulai menemukan hal-hal yang dulunya dianggap tabu untuk diucapkan atau ditanyakan tanpa memahami kenapa itu harus tabu. Atau pertanyaan-pertanyaan baik itu berkenaan dengan tuhan atau ritual keagaamaan (baca: ibadah ) yang selama ini senantiasa menggelayut difikiran, perlahan mulai menemukan jawaban yang pada saat ini cukup mengurangi beban fikiranku.

Ibadah yang sering kulakukan pun bukan lagi atas dasar kewajiban semata atau tunduk pada perintah orang tua atau doktrin-doktrin yang disampaikan para ulama. Tapi justru atas dasar kesadaranku sebagai hamba dan bentuk terima kasihku pada pencipta (Tuhan). Pertanyaan akan ada atau tidak adanya tuhan pun perlahan sudah mulai terjawab.

Dalam perjalananku mencari akan kebenaran agama aku menemukan bahwa benar atau tidaknya suatu agama bukan ditentukan oleh manusia, bukan pula ditentukan atas dasar mayoritas atau bahkan lembaga yang berwenang baik itu pemerintah atau bukan. Tapi justru tuhan sendiri lah yang berhak membenarkan mana agama yang paling ia sukai (diridlai).

Pernyataan ini barangkali akan mengandung kontroversi karena paling tidak dalam kitab-kitab suci berbagai agama ada teks yang menyatakan agama siapa yang paling diridlai seperti

1. Islam (Al-Qur’an) :

* Surat al-maidah : 3 yang menyatakan “dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu”

* Surat Ali Imran : 19 yang menyatakan Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.
* Al-Baqarah : 132 yang menyatakan "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".
* Ali-Imran : 85 yang menyatakan “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”

1. Kristen (Injil) disebutkan “Akulah jalan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapak, kalau tidak melalui Aku”. (Yohanes 14 : 6).

1. Hindu (Varita suci) menyebutkan : “di setiap brahma ada nirwana, di setiap nirwana ada brahma”

Dari kutipan-kutipan itulah akhirnya aku menyimpulkan bahwa tidak seorangpun atau siapapun di dunia ini yang berhak mengklaim bahwa agamanyalah atau ajarannyalah yang paling benar dan akan masuk surga ketika ia mendapatkan kematian selain yang menciptakan manusianya itu sendiri.

Oleh karena itu, pada akhirnya kita dimestikan menciptakan kesadaran pada diri kita untuk sesegera mungkin menghilangkan kesombongan dan rasa paling benar, yang ada pada diri kita. Karena bagaimanapun saat ini agama akan semakin berperan penting di masyarakat dengan revolusi teknologi transformasi dan informatika, maka agama – bagaikan dalam dunia bisnis, kini memasuki pusaran informasi internasional.

Ketika islam dipandang sebagai agama masa depan maka akan sangat tidak adil ketika itu hanya sebuah sikap apologetis pendukungan terhadap agama mayoritas atau agama yang dianutnya. Namun harus pula dibuktikan dengan kesanggupan dan kearifan. Kesanggupan dalam arti mampu untuk mendaratkan kesempurnaan ajaran oada sendi-sendi kehidupan bukan hanya dalam ucapan dan konsep belaka. Sedangkan kearifan adalah sejauhmana kita mampu untuk membumikan aspek paling dinamis dan humanis demi kebaikan manusia.

Karena seharusnya agama masa depan tidak akan suram atau dikutiki sebagian orang, tidak akan mengabadikan perkembangan tuhan orang yahudi, konsep yang membawa aturan pada institusi Kristen, tidak akan terfikirkan tuhan yang membesarkan dan memuliakan manusia di taman yang dingin atau sebagai juru selamat yang memutuskan diantara orang yang bersengketa atau sebagai orang yang berkuasa.

Pada akhirnya saya harus membenarkan apa yang diungkapkan oleh Andrew M greely terhadap agama. Ia menyatakan “anda tidak akan menemukan agama di gereja (atau rumah ibadat lainnya) dan sekalipun anda menemukannya, yang anda temui disana biasanya merupakan agama keturunan atau merupakan hal yang sekunder” (religion: a secular theory). Itu pula yang terjadi pada diri saya. Dibesarkan di pesantren tetapi tidak menemukan kebenaran agama. Tapi begitu saya mencoba mencarinya diluaran, ternyata di sana banyak berserak ma’na-ma’na agung yang tersembunyi.

* Pemerhati dan aktivis kebebasan beragama
Read more!

0 komentar  

Potensi

Melejitkan Potensi Diri dengan Quranic Quotient
Oleh Abdullah

Judul : Quranic Quotient: Menggali dan Melejitkan Potensi Diri Melalui Al-Qur'an
Penulis : Udo Yamin Efendi Majdi
Penerbita : Qultum Media, Jakarta
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal : xvi + 196 halaman
Distributor : Gramedia, Gunung Agung, dan toko buku besar seluruh Indonesia

"Buku yang ditulis oleh Udo Yamin Efendi Majdi merupakan karya yang —saya yakin— akan menambah kecintaan pembaca akan Al-Quran sekaligus menjadikannya sebagai pedoman puncak dalam menjalani kehidupan," tulis Ary Ginanjar Agustian ketika memberikan Kata Pengantar terhadap buku Quranic Quotient.

Ungkapan pimpinan ESQ Leadership Center itu tidak berlebihan, sebab buku Quranic Quotient ini hadir dalam rangka back to Al-Qur`an. Penulis ingin meyakinkan kita bahwa siapa pun yang mengamalkan prinsip dalam Al-Qur`an, maka potensi dan kecerdasannya akan berkembang pesat. Setidaknya, buku ini menjadi sarana diskusi kepada siapa saja, terutama bagi generasi muda Islam yang ingin lebih mencintai Al-Qur`an dan mengembangkan potensi diri berdasarkan wahyu Ilahi.

Dalam buku ini, penulis mendiskusikan tentang: Nama dan Sifat Al-Qur`an, Fungsi Al-Qur`an, Kewajiban Terhadap Al-Qur`an, Pengaruh Al-Qur`an Terhadap Potensi Diri, dan Quranic Quotient. Kelima hal itu, penulis bahas dengan “personal essay”, dengan bahasa komunikatif, atraktif, dan mudah untuk dicerna oleh siapa saja. Selain itu, buku ini unik, karena setiap awal bab memuat puisi Sir. Muhammad Iqbal.

Pada Bab I, membicarakan 16 nama dan sifat Al-Qur`an. Dalam bab ini, kita sebagai pembaca akan menemukan pendapat Michael H. Hart —penulis bukunya ‘Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah’ dan para orientalis tentang Al-Qur`an. Ada juga, kisah renaisannce (pencerahan) di Barat dan ‘tidurnya’ umat Islam. Kita pun akan berkenalan dengan pencetus teori ilmiah Ibnu Al-Haitsam. Al-Khawarizm sang penemu Angka Nol. Al-Battani pencetus istilah Sinus, Kosinus, Tangen, dan Kotangen dalam Matematika, atau Azimut, Zenit, dan Nadir dalam Ilmu Astronomi. Ibnu Sina bapak Ilmu Kedokteran. Al-Razi penemu "Kimia Kontemporer". Ibnu Rusyd tokoh Filsafat. Ibnu Khaldun peletak Ilmu Sejarah dan Sosiologi. Dan tokoh yang lainnya. Tak ketinggalan, ada kisah masuk Islamnya dua tokoh terkenal, yaitu Cat Stevens —mantan artis Prancis dan Irena Handono —mantan biarawati.

Selanjutnya, dalam Bab II, kita akan menemukan 4 fungsi Al-Qur`an. Di sini ada cerita tentang Ahmad Deedat ketika diundang oleh raja Swedia, Subaza. Atau, kisah Dr. Keith L. Moore —ahli Embriologi Amerika, Profesor Tajasen Tahasen —seorang ahli Farmakologi Thailand, Mr. Jacques Yves Costeau —ahli kelautan (Oceanografer), dan Prof. William Brown, masuk Islam karena menyaksikan kemukjizatan Al-Qur`an.

Lima kewajiban terhadap Al-Qur`an, penulis bicarakan kepada kita dalam Bab III. Kewajiban itu, antara lain (1) mengimaninya; (2) mempelajarinya; (3) mengamalkannya; (4) mendakwahkannya; dan (5) membelanya. Juga mendiskusikan jawaban, mengapa ada orang yang suka baca Al-Qur`an, tapi Al-Qur`an itu tidak menyentuh hati dan merubah tingkah lakunya? Ada cerita tentang kedekatan Pak Ary Ginanjar dan Bu Marwah Daud dengan Al-Qur`an. Ada cerita tentang interaksi Sir. Muhammad Iqbal terhadap Al-Qur`an. Ada kisah Harun Yahya. Ada kisah Abdullah bin Mas’ud .

Kemudian Bab IV, penulis mengajak kita untuk menjawab pertanyaan: “Siapa Saya?” atau “Apa Diri itu?” Apa itu potensi diri? Apa itu Ahsanu Taqwîm? Sebagai apa saya, menurut Al-Qur`an? Bagaimana saya membaca diri? Bagaimana cara saya memandang diri? Dan, berbicara tentang diri yang unik. Tidak lupa, membicarakan tentang empat potensi terbaik manusia, yaitu potensi intelektual, emosional, spiritual, dan fisik. Dan alasan, mengapa fisik tidak termasuk dalam kajian kecerdasan.

Sebagai lanjutan dari bab sebelumnya, trilogi kecerdasan (IQ, EQ, dan SQ) penulis bahas dalam Bab V dan kemudian ia hubungkan dengan tiga wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad . Ada juga tentang Kang Abik (penulis novel Ayat-ayat Cinta), Mbak Helvy (cerpenis dan mantan Ketua Umum FLP Pusat), dan Mas Fauzil (penulis buku Kupinang Engkau dengan Hamdalah). Dan kita, diajak oleh penulis mengunjung Piramida Giza di Mesir, ketika ia berpendapat bahwa IQ, EQ, SQ versi barat tidak cukup untuk mengantarkan kita ke puncak sukses dunia-akhirat.

Maka dalam Bab VI, penulis menegaskan kepada kita bahwa selain tiga kecerdasan itu, kita juga butuh Quranic Quotient atau Kecerdasan Qur'ani. Ia juga mendiskusikan, apa itu makna sukses dan bahagia? Apa itu Ulil Albâb? Lalu, ia membahas 7 prinsip menggali dan melejitkan potensi diri dengan Quranic Qoutient beserta kiat-kiat praktisnya.

Saat memberikan endorsement terhadap buku yang lahir dari rahim santri Universitas Al-Azhar Mesir ini, B.S.Wibowo —Trainer dan CEO Trustco Cipta Madani— berkomentar:: "Membaca judulnya pasti penasaran. Skiming bukunya tambah penasaran. Sebaiknya membaca sampai habis, itulah jawabannya. Sebuah buku yang memadukan antara pemikiran asasi dengan pemikiran kini. Sangat menarik dan wajar jika dipuji. Perlu dibaca untuk masa kini.” Bahkan, pengelola Rumah Dunia, Golagong, menambahkan: "Bacalah buku ini dan kita akan merasa malu, karena sudah melupakan Al-Quran, kitab yang kita akui sebagai milik kita.”
Read more!

0 komentar  

Pendidikan

Pendidikan; Jawaban Atas Keterpurukan Bangsa
Oleh : Ibn Ghifarie

24-Mei-2007, 02:38:46 WIB - [www.kabarindonesia.com]

KabarIndonesia - "Pendidikan merupakan jawaban atas keterpurukan bangsa. Bukan dengan cara membagi-bagikan uang?", demikian ungkap Ryaas Rasyid, Ketua Pusat Perhimpunan Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia (KB-PII) dalam acara Tasyakur peringatan Hari Bangkit (Harba) Perhimpunan KB-PII ke-60 bertajuk `Pacu Karya, Raih Prestasi, Jadi Pelajar Unggul bersama Pelajar Islam Indonesia (PII)` di gedung Pusat Pengembangan Penataran Guru Ilmu Pengetahuan Alam (P3G IPA), Minggu (20/5).

‘Ini yang mesti dikritisi oleh PII dan tanggung jawab PII dalam menyelesaikan keterpurukan bangsa`. jelasnya.

Menyoal kemiskinan yang sedang melanda indonesia Ia berpendapat, "Indonesia tidak layak dikategorikan miskin, sebab kekayaan melimpah luah, SDA (Sember Daya Alam-red) masih tersedia, dan orang-oarang kaya raya pun banyak di negara kita".

"Nah segala persoalan ini bermula dari Pemimpin yang tidak amanah dan amburadulnya menejemennya", paparnya.

Untuk itu, Tasyakur Harba tak hanya perayaan saja, tetapi harus menjadikan pendidikan sebagai gerakan, bukan program tahunan semata. Apalagi bagi PII yang konesn terhadap dunia; pendidikan, dakwah dan pemberdayaan ekomoni keumatan, tambahnya.

Lain halnya dengan Ganjar Kurnia, Rektor Unpad (Universitas Padjadjaran) Bandung. Selain pendidikan yang harus di utamakan dalam memperbaiki kondisi Indonesia. Rekontruksi pemikiran dan keumatan menjadi modal utama, ungkapnya. "Semuanya ini harus berawal dari insyaf ketika bertindak untuk bertangungjawab", tegasnya.

Perhelatan akbar ini mendapat perhatian lebih dari keluarga besar PII baik yang muda maupun tua. Terlihat dari kehadiran mantan Pengurus Wilayah (PW) sekaligus Pengurus Besar (PB) PII Jawa Barat seperti Utomo Dananjaya, dan Dalianur. Meski ada kehawatiran atas kemerosotan kader-kader PII ditengah-tengah persaingan organisasi pelajar.

"Jangan takut dengan kondisi seperti ini. Apalagi tidak ada kader. Sebab saatnya pelajar harus menjadi objek, bukan subjek", ungkap Masdum, ketua PW PII dalam sambutannya.

"Siga kieu lantaran PII (keadaan seperti ini berkat PII). Diadakanya acara Harba PII Ke-60 ini guna melajutkan kiprah pendiri PII seperti Yoesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani, Amien Syahri dan Ibrahim Zarkasji serta merenungkan kembali kejayaan islam dan keindonesiaan", kata Aa Tarsono selaku Ketua Pelaksana.

Tentunya, tidak lupa pada lemah cai PII setelah tak aktif jadi pengurus PII dan sekian tahun beraktivitas di luar PII. Maka Harba moment silaturahmi dan reunian guna mempererat persaudaraan di kalangan Keluarga Besar PII, tambahnya.

Senada dengan Aa Tarsono. Oma Wiharja Masyuri, ketua Pengurus Wilayah Perhimpunan KB-PII menjelaskan acara ini merupakan usaha meneruskan cita-cita para pendiri PII untuk mencapai tujuan PII `Kesempurnaan Pendidikan dan Kebudayaan yang sesuai dengan islam`

"Meski dengan berbagai keterbatasan. Semoga kegiatan ini dapat bermakna dan berguna bagi kemaslahatan umat", ungkapnya. [Ibn Ghifarie]

Cag Rampes, Pojok P3G IPA, 20/18.39 wib
Read more!

0 komentar  

Esok

Sajak Ari Sucianto

Hari Esok, dan disuatu ketika?

Hari esok..
Dan di suatu ketika..
Saat suara tak terdengar..
Saat mata terpejam..

Saat suasana sunyi gelap-gulita..
Saat diding liang lahat pisahakan dua dunia..
Hanya, apa yang kita perbuat, itu yang menemani..
Hari esok..
Dan disuatu ketika..
Nyayian penyesalan..
Hanya jeritan menambah derita..
Hanya apa? Hanya itu yang kita bisa..
Kenapa kita mesti menunggu?
Hari esok..
Dan disuatu ketika?..
Dengan terus menciptakan penyesalan-penyelasan, baru’
Yang menyakitkan diri kita sendiri?
Hari esok..
Dan disuatu ketika?
Mengikis waktu-waktu..
Berhari-hari.. makin mendekat!

*Penulis adalah mantan Ketua Komisariat Parakan Pengurus Daerah (PD) Temanggung Jogyakarta Pelajar Islam Indonesia (PII) periode 1998/1999. Kini sedang menyelesaikan kuliah di Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma Jakarta.
Read more!

0 komentar  

Azas Tunggal

Menyibak Pergulatan Asas Tunggal di Tubuh PII
Oleh Admin

Asas tunggal Pancasila tidak lagi menjadi soal. PII mendaftarkan diri kembali di Departemen Dalam Negeri.

Sekitar 250 mantan aktivis PII (Pelajar Islam Indonesia), yang rata-rata berusia setengah abad, berkumpul di Madrasah Tsanawiyah Negeri Desa Kanigoro, Kecamatan Keras, Kediri, Jawa Timur, 18-19 januari silam. Mereka menggelar reuni, sarasehan, sekaligus mengenang kembali Kanigoro Affair, yang terjadi 10 Ramadhan 32 tahun silam. Bendera hijau dan lambang-lambang PII pun kembali berkibar setelah cuti hampir 10 tahun.

Kanigoro Affair tercatat sebagai sebuah tonggak sejarah yang menandai munculnya gelombang amuk PKI dalam ikhtiarnya membungkam kekuatan nonkomunis. Program mental training yang diikuti 127 kader PII Jawa Timur, 9-17 januari 1965, di Kanigoro pun menjadi salah satu sasarannya. Massa PKI melabrak arena latihan kader-kader santri itu dan melakukan teror. Program organisasi PII itu pun terpaksa dihentikan pada 13 Januari (10 Ramadhan). Para peserta menyingkir.

Masduki Muslim, 55 tahun, ketua PII Kediri awal tahun 1960, mengaku telah lama merindukan reuni itu. “tapi kok ndak sempat-sempat,” kata Masduki, salah satu pemrakarsa pertemuan ini. Yang istimewa dalam acara tersebut, bendera dan simbol pii secara mencolok dikibarkan dan sejumlah pejabat hadir -di antaranya ialah Kepala Staf Kodam V Brawijaya Brigadir Jenderal Moechdi, Komandan Korem Surabaya Kolonel Syamsul Ma’arif, dan jajaran Musyawarah Pimpinan Daerah (MUSPIDA) Kabupaten Kediri.

Rupanya PII telah kembali menjadi anak « manis ». Organisasi pelajar islam ini telah mengubah anggaran dasarnya dengan mencantumkan Pancasila sebagai asasnya, dan mendaftarkan diri ke Departemen Dalam Negeri pada 9 Desember lalu,“ini melegakan. Semua peserta sarasehan menyambut gembira. Kami mengharap Pengurus Besar PII menindaklanjutinya agar PII kembali eksis,” kata Masduki.

Sebelas tahun lalu, PII adalah salah satu dari sejumlah organisasi berlabel Islam yang menolak pelaksanaan asas tunggal Pancasila yang diamanatkan Undang-Undang Keormasan 1985. Tapi satu demi satu organisasi-organisasi itu menerima asas tunggal, termasuk di antaranya Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI), yang kendati alot akhirnya menyetujui UU Keormasan itu. PII terus bertahan. Sampai tenggat yang digariskan oleh Pemerintah, yakni akhir 1987, PII tetap enggan mengubah anggaran dasar dan rumah tangganya dengan mencantumkan Pancasila sebagai asas organisasi. Keruan saja organisasi pelajar islam itu terhapus dari daftar organisasi kemasyarakatan resmi di departemen dalam negeri. Tapi PII tak pernah bubar.

Tanpa status sebagai organisasi resmi, roda organisasi PII tentu tersendat. Kantor wilayah PII Jawa Timur di jalan Kupang Panjaan, Surabaya, tampak rombeng. Ketua PII Jawa Timur Mohammad Soddiq mengakui tak tahu jumlah anggotanya. Sejak terpilih maret tahun lalu, ia baru sempat menggelar satu kegiatan, yakni “latihan kepemimpinan” di Sumenep, Madura. Untuk kegiatannya, Soddiq merasa tak bisa meminta izin dari aparat keamanan. “Kami harus diam-diam, kadang nebeng kegiatan NU, Muhammadiyah, atau Al Irsyad,” kata mahasiswa fakultas matematika dan ilmu pengetahuan alam (FMIPA) ITS Surabaya itu. Jumlah cabang PII pun merosot. Sebelum 1987 ada 37 cabang PII di Jawa Timur. ‘’Kini cuma ada 20 buah, dan di situ yang aktif cuma pengurusnya,” kata Soddiq.

Suasana di kantor pengurus besar PII pun - yang menghuni satu ruang kusam 7 x 8 meter pada satu bangunan tua di jalan Menteng Raya, Jakarta - kurang lebih sama memprihatinkan. Dua buah komputer desktop generasi pertama menjadi satu-satunya barang berharga di kantor itu. Tapi ketua umum pengurus besar PII Abdul Hakam Naja, 30 tahun, kini tampak optimistis. “Kami kini sudah bisa berkiprah kembali,”katanya. Selama 10 tahun belakangan, menurut sarjana biologi kelautan lulusan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu, PII tetap eksis kendati kiprahnya meredup. Bahkan sempat melakukan tiga kali muktamar. Pada muktamar di bogor 1994, PII memutuskan untuk menerima UU keormasan dan mendaftar ke Departemen Dalam Negeri.
Mengapa akhirnya PII menerima asas tunggal? dulu, 1987, memang tidak ada satu pendapat di antara kami. Ketika itu umat islam dalam keadaan yang kurang menguntungkan, kata Abdul Hakam. Setelah suasana yang tak menguntungkan itu dianggap berlalu, muktamar pii merasa tak perlu lagi merisaukan ketentuan tentang asas tunggal tersebut. Maka sebagai fungsionaris yang membawa amanat muktamar, Abdul Hakam melakukan konsolidasi kanan-kiri. Hasilnya, dukungan agar PII menerima asas tunggal. Walhasil, Abdul Hakam pun mendaftarkan PII ke Departemen Dalam Negeri, dan disambut dengan baik.

Sejak lahir hampir 50 tahun lalu, PII dikenal sebagai organisasi yang tertata baik. PII pula yang menjadi pemasok kader bagi abangnya, HMI (Himpunan Mahasiswa Indonesia). Sejumlah alumni PII pun tercatat menduduki posisi penting dalam masyarakat, di antaranya Tanri Abeng (eksekutif di grup Bakrie), Taufiq Ismail (penyair), dr. Imaduddin (tokoh ICMI), Mayor Jenderal Cholid Gozali (anggota fraksi ABRI di DPR-RI), dan Mayor Jenderal (purnawirawan) Z. A. Maulani, Alm. mantan Panglima Kodam Tanjungpura, mantan pengamat politik terkemuka.

Di kutip dari: Pth, genot widjoseno, dan saiful anam. Nomor 12/iii, 8 februari 1997 [dari berbagai sumber]
Read more!

0 komentar  

Brigade PII

Menyoal Brigade PII
Oleh Admin

PII dan Brigade PII pada saat timbulnya , adalah sebagai salah satu kesatuan yang tidak dapat dipisah – pisahkan, keduanya adalah anak kembardari pergerakan revolusi 45 dengan tugasnya masing – masing yang tumbuh dengan sendirinya dan bukan karena dibuat-buat apalagi dipaksakan.

Sebagaimana kita dapat memahami dari namanya, Brigade PII, berbentuk klasykaran / ketentaraan, ia merupakan salah satu dari pasukan rakyat yang berjuang melawan penjajah. Brigade PII berjuang saling bahu membahu dengan saudara perjuangan lainnya seperti : TKR ( Tentara Keamanan Rakyat ), TRI Hizbullah, BPRI ( Baris dan Pemberontakan RI ), TRIP ( Tentara Republik Indonesia Pelajar Jawa Timur ) Sabilillah, Tentara pelajar ketentaraan IPPI, TPI ( Tentara Pelajar Islam Aceh ), CM Corps – Mahasiswa, CP ( Corps Pelajar Solo ) dan lain sebagainya.

Jika melihat saat peresmiannya lahir dari Brigade PII, dibandingkan dari lainnya emang agak terlambt secara Administratif lahir tahun 1947, sedangkan oknum-oknumnya sudah berjuang jauh sebelumnya, yang menamakan dirinya Pelajar / Brigade Pelajar, tetapi bukan berarti semangat jihad dan pejuang pelajar + mahasiswa ketinggalan.

Brigade PII bukan pahlawan kesiangan, walau peresmian sudah agak terlambat dua tahun, sebagai mana telah dilontarkan orang-orang yang ingin menghilangkan hak hidup Brigade PII pada waktu itu, berkat pengakuan dari saudara – saudaranya dalam perjuangan fisik Brigade PII mempunyai saudara kembarnya yaitu TPI ( Tentara Pelajar Islam Aceh ), dengan anggotanya sebanyak 12 000 dan langsung dibawah komando Korpus Brigade PII ( pada waktu itu komando dipegang oleh Abdul Fatah Permana ). Diantara pimpinan TPI Aceh ialah Hasan Bin Sulaiman, Hamzah SH, Ismail Hasan Matarem SH. [dari berbagai sumber]
Read more!

0 komentar  

Pii Wati

Mengeja PII Wati
Oleh Admin

Latar Belakang
Pada awalnya gagasan Korps PII Wati lahir di Training Centre Keputerian PII se-Indonesia yang dilaksanakan pada tanggal 20-28 Juli 1963 di Surabaya. Suasana duka sangat mempengaruhi TC karena GPII baru saja dibubarkan (10 Juli 1963) dan ditambah bayang-bayang suram mengenai kemungkinan menyusulnya “pembubaran PII”.

TC Keputerian tersebut diikuti oleh peserta dari PB, utusan wilayah-wilayah se-Jawa, Sumatra Selatan, Sumatra Utara, Sulawesi Selatan, serta dipandu oleh bagian Kader PB PII (Muhammad Husni Thamrin, Hidayat Kusdiman, dan E. Basri Ananda).

Mengingat latar belakang yang heterogen, peserta training dibagi dalam tiga kelompok/group. Dalam TC berkembang kesadaran kuat untuk meningkatkan peranan dan kualitas kader / kepemimpinan PII Wati, serta menghapus citra negatif peran sebagai sekedar “etalage” atau “pengelola konsumsi”. Sementara fakta dan realita menunjukan bahwa kesempatan bagi puteri untuk mengembangkan diri dan berjuang di PII relatif lebih terbatas dan pendek. Beberapa peserta dari kelompok I (group Aisyah) yang terdiri dari Sri Samsiar (PB PII), Habibah Idris (PB PII), Chaerani Suty (Sumatra Utara), St Robiatun (Jogjakarta), Tuti Gitoatmodjo (Jawa Tengah), Nur Zahara Ansori (Sumatra Selatan), merumuskan gagasan pembentukan suatu wadah alternatif yang diharapkan mampu memacu / mempercepat proses kaderisasi kepemimpinan puteri yang selama ini banyak hambatannya. Inilah embrio gagasan mengenai Korps PII Wati, meski wujud konkrit lembaganya belum sempat dibicarakan lebih lanjut dalam TC itu. Realisasi gagasan itu kemudian dipelopori oleh bagian keputrian PW PII Jogjakarta Besar, yang membentuk Korps PII Wati Jogjakarta Besar pada akhir 1963.

Dalam sidang keputerian Muktamar PII X bulan Juli 1964 di Malang, disajikan 2 (dua) prasaran yang mengantarkan terbentuknya secara resmi Lembaga Korps PII Wati. Pertama dari PB PII oleh Sri Samsiar, dan kedua dari bagian keputerian PW PII Jogjakarta Besar yaitu St. Wardanah AR, Masyitoh Sjafei dan Hafsah Said.
Tujuan Pembentukan

Apa yang ingin diwujudkan oleh Korps PII Wati dirumuskan dengan singkat dalam tujuannya yaitu: ”Terbentuknya pribadi wanita Islam yang konsekwen terhadap prinsip-prinsip Islam” (Peraturan Dasar Pasal III).
Adapun kondisi yang melatarbelakangi lahirnya Korps PII Wati tersirat dalam Muqadimah Peraturan Dasar Korps PII Wati :
• Bahwa perkembangan hidup dan prikehidupan umat Islam Indonesia di dalam menuju ‘Izzul Islam wal Muslimin telah sampai suatu taraf di mana Pelajar Islam Indonesia (PII) sebagai kader Revolusi dan Kader Umat Islam memegang peranan penting dan utama didalamnya.
• Bahwa dalam mengemban amanat tersebut, tidak berbeda tugas dan tanggung jawab antara Putra dan Puteri, kecuali sesuai dengan fitrahnya masing-masing.
• Bahwa PII di dalam melaksanakan kewajiban tersebut, besarlah peranan PII Wati di dalamnya. Peranan ini perlu dipelihara, dikembangkan, dan dikekalkan, dengan menciptakan konkritisasi, harmonisasi, dan kristalisasi daripada warganya,…” (Prt Dasar Korps PII Wati, 1964).

Pembentukan Korps PII Wati tidaklah dimaksudkan untuk memisahkan diri dari PII atau memisahkan PII-wan dan PII-wati secara organisatoris, seperti yang terjadi antara IPNU dan IPPNU. Hal ini ditegaskan dalam memori Penjelasan :
“Dengan terbentuknya lembaga baru ini yang anggota dan pengurusnya adalah Khusus Puteri, sama sekali bukan untuk memisahkan diri dari anggota PII pun lebih dari organisasi PII secara keseluruhan. Tetapi dalam hal ini hanya terbatas akan spesialisasi penggarapan anggota. Diharapkan dengan adanya lembaga ini PII Wati akan mendapatkan kesempatan yang cukup banyak, kesempatan untuk mengembangkan bakat, kesempatan untuk berlatih, merasakan dan melaksanakan tanggungjawab, kesempatan untuk berdiri sendiri tanpa pengharapkan bantuan orang lain, sehingga dari wadah ini akan menghasilkan puteri-puteri Islam yang militan dan konsekwen terhadap prinsip-prinsip Islam”.(Memori Penjelasan Peraturan Dasar Korps PII Wati, 1964).

Status Korps PII Wati adalah merupakan Badan Otonom dari bagian keputerian dalam kepengurusan PII, dan Ketua Bagian Keputerian langsung menjadi Ketua Korps PII Wati. Masa jabatan Korps PII Wati sesuai dengan masa jabatan pengurus PII yang setara (Prt Dasar Pasal IV dan IX). Selanjutnya, lembaga Korps PII Wati mempunyai kekuasaan penuh kedalam, sedang ke luar dilakukan oleh pengurus PII Bagian Keputerian. Di tiap-tiap kota hanya diperkenankan adanya Korps PII Wati yang dibentuk oleh instansi tertinggi yang ada di kota tersebut. (Memori Penjelasan Pasal IV dan V).

Rapat Pleno PB PII pertama periode 1964-1966 yang dilangsungkan pada tanggal 6 September 1964, selain menetapkan Program Umum PII, antara lain juga menugaskan Sri Samsiar selaku Ketua IV untuk mengkoordinir Bagian Keputerian PB PII dan menindaklanjuti pembentukan Korps PII Wati sebagai Keputusan Muktamar X.

Susunan Personalia Bagian Keputerian PB PII Periode (1964-1966) pada awalnya terdiri dari :
Ketua : St Habibah Idris
Wakil Ketua : Mismar Chatib Salami BA (kemudian menikah dan mengudurkan diri)

Banyak sekali kendala dalam proses pembentukan Korps PII Wati di ibukota, karena sulitnya mengakomodasi semua potensi PII Wati di DKI Jakarta, baik PB, Wilayah maupun Cabang, sementara kondisi di ibukota sendiri sangat kompleks. Namun akhirnya Korps PII Wati Jaya berhasil dibentuk dengan ketua yang pertama St. Habibah Idris (Ketua Bagian Keputerian PB PII), dan dilantik oleh PB PII pada tanggal 15 November 1964. [dari berbagai sumber]
Read more!

0 komentar  

PII

Sejarah PII (Pelajar Islam Indonesia)
Oleh Admin

PELAJAR ISLAM INDONESIA (PII) didirikan di kota perjuangan Yogyakarta pada tanggal 4 Mei 1947. Para pendirinya adalah Yoesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani, Amien Syahri dan Ibrahim Zarkasji.

Salah satu faktor pendorong terbentuknya PII adalah dualisme sistem pendi-dikan di kalangan umat Islam Indonesia yang merupakan warisan kolonialisme Be-landa, yakni pondok pesantren dan sekolah umum. Masing-masing dinilai memiliki orientasi yang berbeda. Pondok pesantren berorientasi ke akhirat sementara seko-lah umum berorientasi ke dunia. Akibatnya pelajar Islam juga terbelah menjadi dua kekuatan yang satu sama lain saling menjatuhkan. Santri pondok pesantren meng-anggap sekolah umum merupakan sistem pendidikan orang kafir karena produk ko-lonial Belanda. Hal ini membuat para santri menjuluki pelajar sekolah umum de-ngan "pelajar kafir". Sementara pelajar sekolah umum menilai santri pondok pe-santren kolot dan tradisional; mereka menjulukinya dengan sebutan "santri kolot" atau santri “teklekan".

Pada masa itu sebenarnya sudah ada organisasi pelajar, yakni Ikatan Pelajar Indonesia (IPI). Namun organisasi tersebut dinilai belum bisa menampung aspirasi santri pondok pesantren. Merenungi kondisi tersebut, pada tanggal 25 Februari 1947 ketika Yoesdi Ghozali sedang beri'tikaf di Masjid Besar Kauman Yogyakarta, terlintas dalam pikirannya, gagasan untuk membentuk suatu organisasi bagi para pelajar Islam yang dapat mewadahi segenap lapisan pelajar Islam. Gagasan terse-but kemudian disampaikan dalam pertemuan di gedung SMP Negeri 2 Secodining-ratan, Yogyakarta. Kawan-kawannya yang hadir dalam pertemuan tersebut, antara lain: Anton Timur Djaelani, Amien Syahri dan Ibrahim Zarkasji, dan semua yang hadir kemudian sepakat untuk mendirikan organisasi pelajar Islam.

Hasil kesepakatan tersebut kemudian disampaikan Yoesdi Ghozali dalam Kongres Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), 30 Maret-1April 1947. Karena banyak peserta kongres yang menyetujui gagasan tersebut, maka kongres kemudi-an memutuskan melepas GPII Bagian Pelajar untuk bergabung dengan organisasi pelajar Islam yang akan dibentuk. Utusan kongres GPII yang kembali ke daerah-daerah juga diminta untuk memudahkan berdirinya organisasi khusus pelajar Islam di daerah masing-masing.

Menindaklanjuti keputusan kongres, pada Ahad, 4 Mei 1947, diadakanlah per-temuan di kantor GPII, Jalan Margomulyo 8 Yogyakarta. Pertemuan itu dihadiri Yoesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani dan Amien Syahri mewakili Bagian Pelajar GPII yang siap dilebur di organisasi pelajar Islam yang akan dibentuk, Ibrahim Zarkasji, Yahya Ubeid dari Persatuan Pelajar Islam Surakarta (PPIS), Multazam dan Shawabi dari Pergabungan Kursus Islam Sekolah Menengah (PERKISEM) Surakarta serta Dida Gursida dan Supomo NA dari Perhimpunan Pelajar Islam Indonesia (PPII) Yogyakarta. Rapat yang dipimpin oleh Yoesdi Ghozali itu kemudian memutuskan berdirinya organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) tepat pada pukul 10.00, 4 Mei 1947.

Untuk memperingati momen pembentukan PII, maka setiap tanggal 4 Mei di-peringati sebagai Hari Bangkit PII (HARBA PII). Hal ini karena hari itu dianggap se-bagai momen kebangkitan dari gagasan yang sebelumnya sudah terakumulasi, se-hingga tidak digunakan istilah hari lahir atau hari ulang tahun.

KETUA UMUM PENGURUS BESAR (PB) dari periode ke periode
• 1. Joesdi Ghazali (1947)
• 2. Noersjaf (1947-1948)
• 3. Anton Timoer Djailani (1948-1950), (1950-1952)
• 4. Ridwan Hasjim (1952-1954)
• 5. Amir Hamzah Wirjosoekanto (1954-1956)
• 6. Ali Undaja (1956-1958)
• 7. Wartomo Dwijuwono (1958-1960)
• 8. Thaher Sahabuddin (1960-1962)
• 9. Ahmad Djuwaeni (1962-1964)
• 10. Syarifuddin Siregar Pahu (1964-1966)
• 11. A. Husnie Thamrin (1966)
• 12. Utomo Dananjaya (1966-1969)
• 13. Hussein Umar (1966-1969), (1969-1973)
• 14. Usep Fathuddin (1969-1973)
• 15. Yusuf Rahimi (1973-1976)
• 16. Ahmad Joenanie Aloetsjah (1976-1973)
• 17. Masyhuri Amin Mukhri (1979-1983)
• 18. Mutammimul Ula (1983-1986)
• 19. Chalidin Yacobs (1986-1989)
• 20. Agus Salim (1989-1992)
• 21. Syafunnur Maszah (1992-1995)
• 22. Abdul Hakam Naja (1995-1998)
• 23. Djayadi Hanan (1998-2000)
• 24. Abdi Rahmat (2000-2002)
• 25. Zulfikar (2002-2004)
• 26. Delianur (2004-2006)
• 27. Muh. Zaid Markarma (2006-2008) [dari berbagai sumber]
Read more!

0 komentar  

Selamat

Selamat Datang Di Blog Resmi PW PII (Pengurus Wilayah Pelajar Islam Indonesia) Jawa Barat. Semoga bermanfaat. Amien Read more!

1 komentar